Salah satu tesis yang paling banyak dipegang oleh pengamat Perpustakaan terutama perpustakaan umum adalah bahwa institusi ini hanya bisa tumbuh dalam suatu masyarakat yang demokratis. Salah satu negara yang dianggap sebagai pemrakarsa perpustakaan umum sebagai institusi demokrasi adalah Amerika Serikat.
Anggapan yang barangkali terdengar sangat optimistis adalah bahwa perpustakaan umum merupakan "arsenals of a democratic culture", dikedepankan oleh Sidney H. Ditzion yang meneliti sejarah pertumbuhan perpustakaan umum di Amerika Serikat. Bersama Jessa Shera, Ditzion kemudian dikenal sebagai cendekiawan AS pertama yang "menemukan" tempat perpustakaan umum dalam pertumbuhan tradisi demokrasi. Ia mengutip pernyataan presiden AS, Franklin D. Roosevelt, yang mengatakan, "Perpustakaan secara langsung terlibat dalam konflik yang kini membelah dua dunia kita, karena dua alasan: pertama, perpustakaan merupakan hal yang esensial dalam masyarakat demokratik; kedua, karena konflik saat ini menyangkut integritas kecendekiawanan, kebebasan berpikir, dan bahkan kelangsungan sebuah kebudayaan; dan perpustakaan adalah sarana yang luar-biasa bagi kecendekiawanan, pemelihara kebudayaan, dan simbol megah dari adanya kebebasan berpikir."
Menurut Ditzion salah satu unsur penting yang mendorong kelahiran "perpustakaan untuk semua orang" atau "perpustakaan-perpustakaan umum yang bebas" (free public libraries) adalah protes terbuka terhadap adanya "perpustakaan berkelas" (class libraries) yang diperuntukkan bagi sejumlah terbatas elit cendekiawan. Salah satu contohnya adalah pada suatu masa di tahun 1815-an, seorang bernama Joshua Bates mendesak masyarakatnya agar menyediakan ruang baca bagi orang awam yang sama nyamannya dengan yang disediakan untuk orang-orang terpelajar. Fasilitas seperti itu akan mempertemukan "the humblest and the highest" seperti halnya pemilihan umum mempertemukan suara mereka pada tingkatan yang sederajat.
Ditzion juga mengaitkan perkembangan perpustakaan umum dengan kebangkitan kaum pekerja, dengan contoh sebuah perpustakaan yang didirikan di Pacific Mills, sebuah pabrik di kota Lawrence, Massachussets. Perpustakaan ini diperuntukkan bagi para pekerja pekerja pabrik, sehingga tidak bisa dikatakan perpustakaan umum. Tetapi Ditzion menggarisbawahi filosofi yang mendasari pendiriannya, dan menyimpulkan bahwa konsep "universitas untuk para pekerja" (the workingman's university) adalah landasan utama pendirian perpustakaan di pabrik-pabrik. Selanjutnya, ia juga menguraikan betapa kemudian muncul dermawan-dermawan yang mendukung filosofi ini secara finansial. Filosofi ini penting bagi pertumbuhan demokrasi, dan dianggap memungkinkan suatu kelompok dalam masyarakat meningkatkan diri mereka sejajar dengan kelompok-kelompok lainnya.
Interpretasi progresif yang dilakukan Ditzion dan Sherra terhadap sejarah perpustakaan umum AS bukan tanpa kritik. Pada akhir era 1970-an, tiga sejarahwan lain (Dee Garrison, Michael Harris, dan Rosemary DuMont) mengkritik dua pendahulu mereka dengan mengatakan bahwa anggapan tentang perpustakaan umum sebagai lembaga demokrasi terlampau optimistis. Menurut ketiganya, sejarah kelahiran perpustakaan umum dalam era-era yang dikaji Ditzion tetap memperlihatkan suatu upaya hegemoni kultural oleh salah satu kelas dalam masyarakat terhadap kelas lainnya, selain upaya kontrol sosial oleh kelas yang waktu itu berkuasa.
Tetapi baik Ditzion maupun pengkritiknya sebenarnya juga hanya memperhatikan perkembangan perpustakaan umum. di daerah-daerah perkotaan (urban) dan luput mencermati perkembangan di pedesaan (rural). Para sejarawan itu mengamati pembangunan institusi kultural di kota-kota besar, yang notabene dimotivasi oleh keinginan membangun monumen di kalangan individu-individu tertentu. Dengan kekayaan yang berlimpah dan tindakan-tindakan yang sering kontroversial, para orang kaya dermawan ini memang menjadi subjek yang amat menarik bagi para sejarawan untuk diamati. Dengan latar ini, perpustakaan-perpustakaan umum yang banyak dibangun dengan bantuan para milyuner dermawan, segera diidentifikasi sebagai institusi demokratis.
Di luar institusi-institusi megah di kota besar, sebagian besar perpustakaan umum justru dibangun di desa-desa, dan ini sering luput dari pengamatan. Ketika dilakukan pengamatan terhadap kondisi di desa-desa AS pada saat pertama kali mengenal perpustakaan umum, terlihatlah bahwa di satu sisi interpretasi optimistik Ditzion harus diperlunak, tetapi di sisi lain kritik yang mengatakan bahwa perpustakaan umum semata-mata lahir karena ada kaum elit yang ingin mengendalikan massa di bawahnya, juga harus ditolak.
Contoh kasusnya adalah perpustakaan umum yang didirikan pada awal tahun 1900-an di Hagerstown di Maryland, sebuah desa kecil yang sampai sekarang tetap adalah desa para petani. Fenomena di desa kecil ini, yang juga terjadi di desa-desa lainnya di AS pada waktu yang hampir sama, menggugat pernyataan bahwa hanya orang-orang dengan pemikiran tentang kontrol sosial saja yang berinisiatif mendirikan perpustakaan umum. Di Hagerstown, perpustakaan umum didirikan dengan tujuan murni untuk pendidikan rakyat banyak, sejalan dengan pernyataan Andrew Carnegie yang dipopulerkan pada saat itu, "the true university of these days is a collection of books". Carnegie adalah seorang imigran miskin dari Inggris yang menjadi milyuner AS, dan yang bersikeras bahwa kesuksesannya "naik kelas" adalah karena dia bisa membaca buku-buku di perpustakaan umum.
Selain contoh sukses Carnegie, rupanya perpustakaan umum di Hagerstown juga didorong oleh kemunculan profesi pustakawan yang waktu itu oleh promotornya, Melvil dewey, dinyatakan sebagai profesi yang harus melancarkan fungsi perpustakaan umum sebagai institusi pendidikan untuk orang banyak. Dewey menyetarakan "the free library" dengan "the free school" sebagai sebuah gerakan budaya besar-besaran di AS waktu itu, untuk membantu jutaan penduduk miskin "naik kelas" lewat peningkatan pendidikan. Gerakan ini tentu bisa dihubungkan dengan upaya negara itu untuk menciptakan sebuah masyarakat yang setiap individunya punya kesempatan mengembangkan diri lebih lanjut, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan politik. Pendek kata, untuk demokratisasi.
Dus, walaupun tidak bisa seoptimistis Ditzion dan Sherra, Sejarah perpustakaan umum di AS tetap bisa ditunjuk sebagai indikator dari eratnya hubungan antara pendirian insitusi ini dengan proses demokratisasi sebuah masyarakat. Selain itu, pertumbuhan pesat perpustakaan umum di AS juga bisa dihubungkan dengan tiga fenomena lainnya, yaitu kebangkitan asosiasi para pekerja, perjuangan kelas yang menajam, dan munculnya asuransi masyarakat. Asosiasi-asosiasi yang berkesan "kelas menengah", seperti kelompok pekerja, kelompok wanita, kelompok religius dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya juga banyak dihubungkan dengan pendirian berbagai perpustakaan umum di AS. Kelompok-kelompok bisnis independen, dalam rangka memenuhi kepentingan bisnis yang bebas terbuka, juga mendukung pertumbuhan perpustakaan-perpustakaan umum.
Nah, bagaimana dengan di Indonesia. Apakah "perpustakaan umum" kita adalah institusi demokratis? Apakah konsep dan kegiatannya mencerminkan demokratisasi, atau lebih memperlihatkan otokrasi dan kekuatan negara-intergralistik yang berlebihan? Apakah peran "kelas menengah" Indonesia cukup penting dalam pertumbuhannya?
Tidak pada tempatnya membandingkan AS dan Indonesia tercinta. Tetapi apa yang terjadi di negara itu patut jadi pelajaran bagi bangsa yang sedang membangun ini.
Anggapan yang barangkali terdengar sangat optimistis adalah bahwa perpustakaan umum merupakan "arsenals of a democratic culture", dikedepankan oleh Sidney H. Ditzion yang meneliti sejarah pertumbuhan perpustakaan umum di Amerika Serikat. Bersama Jessa Shera, Ditzion kemudian dikenal sebagai cendekiawan AS pertama yang "menemukan" tempat perpustakaan umum dalam pertumbuhan tradisi demokrasi. Ia mengutip pernyataan presiden AS, Franklin D. Roosevelt, yang mengatakan, "Perpustakaan secara langsung terlibat dalam konflik yang kini membelah dua dunia kita, karena dua alasan: pertama, perpustakaan merupakan hal yang esensial dalam masyarakat demokratik; kedua, karena konflik saat ini menyangkut integritas kecendekiawanan, kebebasan berpikir, dan bahkan kelangsungan sebuah kebudayaan; dan perpustakaan adalah sarana yang luar-biasa bagi kecendekiawanan, pemelihara kebudayaan, dan simbol megah dari adanya kebebasan berpikir."
Menurut Ditzion salah satu unsur penting yang mendorong kelahiran "perpustakaan untuk semua orang" atau "perpustakaan-perpustakaan umum yang bebas" (free public libraries) adalah protes terbuka terhadap adanya "perpustakaan berkelas" (class libraries) yang diperuntukkan bagi sejumlah terbatas elit cendekiawan. Salah satu contohnya adalah pada suatu masa di tahun 1815-an, seorang bernama Joshua Bates mendesak masyarakatnya agar menyediakan ruang baca bagi orang awam yang sama nyamannya dengan yang disediakan untuk orang-orang terpelajar. Fasilitas seperti itu akan mempertemukan "the humblest and the highest" seperti halnya pemilihan umum mempertemukan suara mereka pada tingkatan yang sederajat.
Ditzion juga mengaitkan perkembangan perpustakaan umum dengan kebangkitan kaum pekerja, dengan contoh sebuah perpustakaan yang didirikan di Pacific Mills, sebuah pabrik di kota Lawrence, Massachussets. Perpustakaan ini diperuntukkan bagi para pekerja pekerja pabrik, sehingga tidak bisa dikatakan perpustakaan umum. Tetapi Ditzion menggarisbawahi filosofi yang mendasari pendiriannya, dan menyimpulkan bahwa konsep "universitas untuk para pekerja" (the workingman's university) adalah landasan utama pendirian perpustakaan di pabrik-pabrik. Selanjutnya, ia juga menguraikan betapa kemudian muncul dermawan-dermawan yang mendukung filosofi ini secara finansial. Filosofi ini penting bagi pertumbuhan demokrasi, dan dianggap memungkinkan suatu kelompok dalam masyarakat meningkatkan diri mereka sejajar dengan kelompok-kelompok lainnya.
Interpretasi progresif yang dilakukan Ditzion dan Sherra terhadap sejarah perpustakaan umum AS bukan tanpa kritik. Pada akhir era 1970-an, tiga sejarahwan lain (Dee Garrison, Michael Harris, dan Rosemary DuMont) mengkritik dua pendahulu mereka dengan mengatakan bahwa anggapan tentang perpustakaan umum sebagai lembaga demokrasi terlampau optimistis. Menurut ketiganya, sejarah kelahiran perpustakaan umum dalam era-era yang dikaji Ditzion tetap memperlihatkan suatu upaya hegemoni kultural oleh salah satu kelas dalam masyarakat terhadap kelas lainnya, selain upaya kontrol sosial oleh kelas yang waktu itu berkuasa.
Tetapi baik Ditzion maupun pengkritiknya sebenarnya juga hanya memperhatikan perkembangan perpustakaan umum. di daerah-daerah perkotaan (urban) dan luput mencermati perkembangan di pedesaan (rural). Para sejarawan itu mengamati pembangunan institusi kultural di kota-kota besar, yang notabene dimotivasi oleh keinginan membangun monumen di kalangan individu-individu tertentu. Dengan kekayaan yang berlimpah dan tindakan-tindakan yang sering kontroversial, para orang kaya dermawan ini memang menjadi subjek yang amat menarik bagi para sejarawan untuk diamati. Dengan latar ini, perpustakaan-perpustakaan umum yang banyak dibangun dengan bantuan para milyuner dermawan, segera diidentifikasi sebagai institusi demokratis.
Di luar institusi-institusi megah di kota besar, sebagian besar perpustakaan umum justru dibangun di desa-desa, dan ini sering luput dari pengamatan. Ketika dilakukan pengamatan terhadap kondisi di desa-desa AS pada saat pertama kali mengenal perpustakaan umum, terlihatlah bahwa di satu sisi interpretasi optimistik Ditzion harus diperlunak, tetapi di sisi lain kritik yang mengatakan bahwa perpustakaan umum semata-mata lahir karena ada kaum elit yang ingin mengendalikan massa di bawahnya, juga harus ditolak.
Contoh kasusnya adalah perpustakaan umum yang didirikan pada awal tahun 1900-an di Hagerstown di Maryland, sebuah desa kecil yang sampai sekarang tetap adalah desa para petani. Fenomena di desa kecil ini, yang juga terjadi di desa-desa lainnya di AS pada waktu yang hampir sama, menggugat pernyataan bahwa hanya orang-orang dengan pemikiran tentang kontrol sosial saja yang berinisiatif mendirikan perpustakaan umum. Di Hagerstown, perpustakaan umum didirikan dengan tujuan murni untuk pendidikan rakyat banyak, sejalan dengan pernyataan Andrew Carnegie yang dipopulerkan pada saat itu, "the true university of these days is a collection of books". Carnegie adalah seorang imigran miskin dari Inggris yang menjadi milyuner AS, dan yang bersikeras bahwa kesuksesannya "naik kelas" adalah karena dia bisa membaca buku-buku di perpustakaan umum.
Selain contoh sukses Carnegie, rupanya perpustakaan umum di Hagerstown juga didorong oleh kemunculan profesi pustakawan yang waktu itu oleh promotornya, Melvil dewey, dinyatakan sebagai profesi yang harus melancarkan fungsi perpustakaan umum sebagai institusi pendidikan untuk orang banyak. Dewey menyetarakan "the free library" dengan "the free school" sebagai sebuah gerakan budaya besar-besaran di AS waktu itu, untuk membantu jutaan penduduk miskin "naik kelas" lewat peningkatan pendidikan. Gerakan ini tentu bisa dihubungkan dengan upaya negara itu untuk menciptakan sebuah masyarakat yang setiap individunya punya kesempatan mengembangkan diri lebih lanjut, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan politik. Pendek kata, untuk demokratisasi.
Dus, walaupun tidak bisa seoptimistis Ditzion dan Sherra, Sejarah perpustakaan umum di AS tetap bisa ditunjuk sebagai indikator dari eratnya hubungan antara pendirian insitusi ini dengan proses demokratisasi sebuah masyarakat. Selain itu, pertumbuhan pesat perpustakaan umum di AS juga bisa dihubungkan dengan tiga fenomena lainnya, yaitu kebangkitan asosiasi para pekerja, perjuangan kelas yang menajam, dan munculnya asuransi masyarakat. Asosiasi-asosiasi yang berkesan "kelas menengah", seperti kelompok pekerja, kelompok wanita, kelompok religius dan berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya juga banyak dihubungkan dengan pendirian berbagai perpustakaan umum di AS. Kelompok-kelompok bisnis independen, dalam rangka memenuhi kepentingan bisnis yang bebas terbuka, juga mendukung pertumbuhan perpustakaan-perpustakaan umum.
Nah, bagaimana dengan di Indonesia. Apakah "perpustakaan umum" kita adalah institusi demokratis? Apakah konsep dan kegiatannya mencerminkan demokratisasi, atau lebih memperlihatkan otokrasi dan kekuatan negara-intergralistik yang berlebihan? Apakah peran "kelas menengah" Indonesia cukup penting dalam pertumbuhannya?
Tidak pada tempatnya membandingkan AS dan Indonesia tercinta. Tetapi apa yang terjadi di negara itu patut jadi pelajaran bagi bangsa yang sedang membangun ini.
Advertisement